Monday, January 21, 2013

Walau Banjir Menghadang... (2)


Di perjalanan, tukang ojek yang mengantar saya memutuskan untuk lewat jalan tol, karena banyak daerah yang tergenang banjir (baru kali ini saya naik motor lewat tol). Ketika di perjalanan, asaya sedikit lega karena termasuk lancar dan si Naf juga mengirim pesan bahwa saya bisa ikut ujian susulan dengan ketentuan berlaku (macam pulsa). Yang penting saya bisa ujian. Yeeaaaayyyyy! Di papan hijau penunjuk arah jalan tol, terdapat tulisan yang menunjukkan pintu keluar menuju ke daerah elit itu. Ternyata eh ternyata, pemandangan yang saya lihat begitu turun toll adalah.. keadaan kacau dimana mobil dan kendaraan lainnya berhenti ditempat! Saya tidak bisa kemana-mana lagi karena jalan memutar yang harus diambil tergenang banjir. Tukang ojek yang mengantar saya juga bilang tidak sanggup melewati banjir, karena tingginya lebih dari knalpot motor dan bisa berakibat mogok di jalan. Saya sebenarnya sedih saat itu (bukan, bukan karena saya suka sama abang ojeknya) karena saya kembali harus jalan kaki.

Saya kembali berjalan kaki menuju “Mallnya Indonesia”. Di depan mall, saya yang sudah kelelahan menelpon rumah dan ternyata bisa dengan pulsa yang sudah amat minim, yaitu 3000 rupiah (biasanya provider bilang pulsa saya tidak mencukupi untuk melakukan panggilan). Saya minta agar saya dijemput disana. Tidak peduli dengan orang yang berlalu lalang, saya duduk begitu saja di trotoar mall, dengan keadaan telapak kaki hingga betis yang basa karena banjir, menenteng sepatu jebol dan payung rusak serta tas yang dibungkus plastik. Saya tinggal membawa korek api lalu bersikap seperti anak perempuan di dongeng “Gadis Penjual Korek Api”, menyalakannya dan berharap makanan enak keluar dari asapnya (kemudian mati terkapar).

Setelah setengah jam berlalu, saya memutuskan untuk menelepon adik saya yang menjemut saya. Lagi-lagi keajaiban muncul karena saya masih bisa menggunakan pulsa yang sudah sekarat itu.
“Halo.. dimana?”
“Mbak Yona, aku masih jauh nih, baru di depan mall (yang berseri 1 sampai 5. Ga tau deh, nomer 2 sampai 4nya yang mana). Kayaknya ga bisa keana deh.. lo jalan aja same masjid deket sini, gue tungguin.”
“WHAAAAATTTTTT???????” lalu megap-megap.

“Sungguh....aku tak sanggup... aku tak bisa... aku tak mampu, dan aku tertatih....” terdengar Sammy Simorangkir bernyanyi dikejauhan sana.

Kenapa setelah setengah jam ade gue baru ngabarin? Kenapa? Kenapa? Kenapaaaa??? (kalo di komik, biasanya tokohnya kayak jatuh dari jurang terus menghilan di kegelapan)

Akhirnya, karena dibenak saya terlintas iklan susu yang katanya jalan 10km sehari itu sehat, saya kembali berjalan kaki lagi. Dan kali ini jaraknya lebih jauh. Hiks T_T. Masih dengan “Nyeker Man!” tiruan merk sepatu terkenal itu (bedanya saya ga pake sepatu kulit, melainkan kulit asli saya), saya berjalan di trotoar dibawah jalan tol yang cuma sedikit terkena banjir. Di tengah perjalanan, ada bapak-bapak yang menanyakan apakah sepanjang jalan benaran banjir kepada bapak yang lainnya. Yah... kalau itu masih bisa disebut dengan “pertanyaan”. Pasalnya, si bapak-bapak itu bertanya tapi dengan nada suara yang tinggi dn tidak sabaran. Ia menggunakan logat daerah khas Sumatera Utara, rambut yang agak gondrong, serta jari-jari yang dipenuhi cincin. Tau siapa? Dialah pengacara ulung, Hotman Paris Hutapea. Kantor pengacara itu berada di daerah elit tersebut. Moga-mogahan kapok mendirikan kantor disana.
“Biasa aja om, nanyanya!!” tadinya saya pingin teriak seperti itu, tapi kondisi saya yang sudah lelah mengurungkan niat saya. Lagipula saya takut ditimpuk cincin.

Setibanya di depan mall yang ada unta warna-warni, jalan terlihat sepi. Tidak jauh dari sana, di dekat jembatan ada dua buah tenda Bulan Sabit Merah bertengger dengan manis, menunggu korban banjir yang datang. Sesaat saya tersenyum, karena merasa tidak lagi di Jakarta, tapi di daerah-daerah konflik di Timur Tengah sana. Namun, walaupun ada tenda Bulan Sabit Merah, saya tidak berminat sama sekali. Saat ini saya sangat terobsesi dengan yang namanya WC! Yap, Water Closet! Alias jamban, kalo sodara-sodara belum mengerti. Mengapa oh mengapa? Karena dari jam delapan pagi saya menahan untuk buang air kecil. Ini adalah salah satu penderitaan tiada akhir yang harus saya alami. Kaki yang harus terendam di jalanan penuh dengan air bah, serta udara dingin mengakibatkan saya makin tidak tahan untuk segera menuju WC. Saya tidak bisa masuk ke dalam mall karena keadaan saya yang lebih mirip tunawisma daripada anak kuliahan bisa menyebabkan saya kena usir satpam (kalau di Tom and Jerry, ada adegan si Tom yang diangkat terus ditendang pantatnya sampe melayang dan mendarat di tong sampah).

Akhirnya, sesosok bangunan terlihat sangat bersinar dimata saya. Saat keadaan seperti itu, emas yang disimpan di peti harta karun kilaunya jauh sekali dibaandingkan WC pom bensin. Uuyeeee....!! Dengan jalan yang diseret dan miring-ming tanda sudah tidak tahan menahan pipis, saya berusaha sekuat tenaga untuk menggapai pom bensin tersebut. Perasaan lega dan cara jalan yang kembali normal kembali dirasakan setelah segala urusan kamar mandi telah selesai (well.. this is quite embarassing.. *blushing).

Tidak jauh dari pom bensin, saya berhenti di sebuah klinik kecantikan ketika sebuah telepon masuk diterima. Suara dari ujung sana langsung terdengar.
Nduk, udah pipisnya?” ternyata yang menelpon adalah Ibu saya. *Nduk adalah istilah Jawa untuk panggilan kepada anak perempuan.

Dengan sedikit malu saya menjawab sudah. Tadi, ketika saya sedang berjuang sampai ke pom bensin, Ibu saya telepon, dan saya tidak sengaja membentaknya kerana stress yang sudah akut. Ternyata ibu saya menelpon karena katanya ingin menjemput saya dan saya disuruh untuk menunggu di tempat saya sekarang. Dan, lagi-lagi setelah beberapa menit berlalu, Ayah saya menelpon bahwa beliau baru menyuruh tukang ojek dekat rumah saya ntuk menjemput. Ya Tuhan...

Lima menit...saya berpikir baha mungkin tukang ojek itu masih berada di dekat rmah, karena macet dimana-mana. Sepuluh menit...mungkin di pertengahan jalan... lma belas manit... tiga puluh menit... belum ada kabar. Hingga saya mengantuk dan tertidur dalam posisi duduk. Saya sendiri heran dengan mekanisme tubuh saya yang sempat-sempatnya mengantuk disaat-saat seperti ini. Disaat stress dan lapar luar biasa saya masih bisa tidur. Di pinggir jalan pula! Hingga satu jam kemudian Ayah saya menelepon dimana keberadaan saya, saya mengatakan tukang ojeknya belum dayang dan saya memutuskan untuk BERJALAN KAKI LAGI.

Kalau tadi di jalan raya utama saya masih bisa berjalan di trotoar yang sedikit terkena banjir, kali ini sayang ekali saya harus langsung menceburkan diri ke tengah banjir. Waktu itu, keadaannya dipersulit karena saya membawa Romeo, alias laptop saya. Jadi, tangan kiri memegang sepatu jebol dan payung rusak, dan tangan kanan mengangkat tas selempang saya yang lumayan berat karena ada laptop di dalamnya.

Tadinya banjir hanya sebatas pergelangan kaki. Kemudian sampai betis. Makin jauh, makin dalam, yaitu sebatas lutut. Saya terus berjalan hingga akhirnya air menggenang hingga paha saya. Semakin saya berjalan, tidak hanya tangan yang merasa peal, tapi kaki saya juga. Pangkal paha saya terasa sakit, karena harus menempuh perjalanan dengan berjalan dibawah air. Saya masih sanggup bila dalam keadaan biasa, tapi berjalan dengan tekanan air? Rasanya pengen pingsan saat itu juga. Disetiap jalan yang dekat dengan daratan yang lebih tinggi yang tidak terkena banjir, saya mempercepat langkah, walaupun dengan kaki yang sakit dan nafas yang tersengal-sengal.

Ditengah-tengah jalanan banjir itu, Cuma rumah yang menjadi motivasi saya, supaya tidak menyerah, kehilangan kesadaran terus mengambang di atas banjir. Bayangan akan lezatnya masakan yang dimasak Ibusaya, serta kasur empuk yang akan menyambut saya setibanya di rumah membuat saya berusaha mengumpulkan sisa-sisa tenaga. Ibarat laptop, saya ini adalah laptop yang dipaksa dinyalakan padahal baterainya sudah 7% dan sudah dihibernate sebelumnya.

Akhirnyaa saya sampai di masjid sebelah mall beruntun itu. Banyak kendaraan disana. Baik kendaraan yang tidak bisa melanjutkan perjalanan karena banjir, maupun kendaraan orang-orang ang menjemput kerabatnya. Karena adik saya sudah pulang karena tadi orang tua saya memutuskan untuk menjemput saya yang ternyata adalah tukang ojek yang ga dateng-dateng, lagi-laagi saya harus menerima kenyataan bahwa saya harus berjuang lagi. Pesan singkat yang saya dapat dari Ibu saya, sebaiknya saya naik perahu karet dari situ untuk menyebrangi banjir, lalu naik ojek sampai rumah.

“Perahu karet ku kan me..laju....” sayup-sayup terdengar suara minta tolong dari Maudy Ayunda.

Tapi dimana ada perahu karet? Yang ada adalah gerobak sampah yang dialih fungsikan untuk mengangkut orang-orang yang ingin menyebrang. Jadi lagunya diganti, “Gerobak sampah ku kan me...laju...” (maaf ya, Maudy..).

Dari pada saya naik gerobak sampah hanya untuk menyebrangi banjir, saya lebih memilih untuk naik ojek yang ternyata ada! Alhamdulillah... yah.. walaupun saya berasa ditodong sama harganya yang tia kali lipat harga biasa. Bayangin, gak sampai 1 km aja harganya LIMA BELAS RIBU! Amit-amit ya? Bener-bener cari rezeki disaat orang lain lagi kesusahan.

Dan akhirnya, saya sampai di depan rumah. Melihat bangunan ini, meningkatkan nilai “rumah” menjadi berkali-kali lipat di mata saya. Turun dari ojek dengan sedikit ling-lung, saya memasuki halaman rumah sambil tersenyum. Setelah main-main sama kucing sebenter (masih sempet aje -__-), saya masuk kerumah dengan sedikit cengengesan dicampur perasaan haru.
“Akhirnya aku sampe...hehehe...”

Ibu saya menyambut dengan hangat, dan kelihatan sangat senang anaknya bisa pulang dengan selamat. Setelah mandi dan makan tahu gejrot (yang kebetulan lagi nangkring di depan rumah), saya akhirnya bisa beristirahat, tidur dengan nyenyak. Berusaha melupakan betapa lelahnya perjalanan tadi yang bahkan saya tidak berhasil menyentuh lantai kampus. Waktu keberangkatan jam tujuh pagi, hingga kepulangan saya jam tiga sore dibayar dengan hibernasi seharian penuh, yang ketika terbagun keesokan harinya ternyata udah jam dua siang. Tidur apa mati suri? Hehehehee...

Sekian cerita saya kali ini. Kejadian tersebut masih saya syukuri. Kenapa? Karena ada banyak orang yang menginap di jalan karena banjir. Karena walau banjir menghadang, kayak yang Doni Ada Band bilang, saya akan terus maju untuk pulang (selain ga tau mau nginep dimana). Saya tidak takut banjir, karena nenek moyangku seorang pelaut.

Itu ceritaku... apa ceritamu??
*seruput mie instan




3 comments:

  1. bonyok pio santai banget menghadapi Pio yang hampir setengah mati menghadapi banjir. hahaha, udah tahu kalo Pio expertise kali ya?

    anyway, Romeo ga kena-napa kan ya? semoga doi baik-baik saja.. hehee
    :P
    *peluk

    ReplyDelete
    Replies
    1. eh? -___- aku baru sekali itu banjir2an kok.. hahaha..
      Romeo sehat, Bun.. dan masih tetep ganteng, hehe.. ;3

      Delete
  2. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete