“Jakarta, kebanjiran. Di Bogor,
angin ribut..”
Penggalan dari lagu karangan Benyamin S. Ini rasanya cocok buat cerita saya kali ini. Hari Kamis, 17 Januari 2013 terlihat air setinggi lutut orang dewasa hinga bisa menenggelamkan rumah beserta isinya. Jakarta tenggelam. Well, ngga semuanya sih...tapi sebagian besar memang terendam banjir. Termasuk daerah elit dekat tempat tinggal saya. Catet ya, daerah elit kebanjiran.
Daerah ini terletak di Jakarta Utara, mempunyai tia mall besar, dan bejibun restoran dan tempat makan lainnya. Tau dong, dimana.. saya ga bermaksud untuk ngejelekin, lho... Cuma pengen kritik sebagai warga komplek veteran yang ternyata lebih nyaman dibandingkan kemewahan daerah tersebut. Saya merasa daerah elit tersebut HARUS diperbaiki karena saya dan ribuan warga lain pasti susah untuk mengambil akses ke luar.
Masuk ke cerita. Jadi, hari kamis itu saya ada Ujian Akhir Semester. Ujian itu dimulai pada pukul 11:00 WIB, tetapi karena saya ingin belajar terlebih dahulu (ini namanya “Sistem Kebut Sesaat sebelum ujian”), saya memutuskan untuk berangkat lebih pagi, yaitu jam 07:00 WIB. Hari itu hujan lebat. Dari kaca mobil, (saya berangkat dengan Ibu saya) sudah terlihat sebentar lagi sunai kecil buatan yang ada di sepanjang jalan daerah elit tersebut sudah hampir penuh, pertanda akan terjadi banjir. Dan, benar saja, sodara-sodara. Ternyata, mendekati jalan raya utama, yaitu jalan Yos Sudarso, air memang sudah meluap dan menyebabkan genangan air serta kemacetan, tapi saya masih bisa mencapai jalan raya utama dalam waktu setengah jam, yang berarti masih tepat waktu (biasanya Cuma menghabiskan waktu 15 menit untuk sampai sana).
Setelah sampai di halte, saya menunggu bis PPD jurusan Cililitan untuk berhenti di halte dekat salah satu kampus kemudian melanjutkan perjalanan dengan menaiki bis lagi untutk mencapai kampus saya. Hari itu, saya mengurungkan diri untuk naik Transjakarta karena pasti penuh dah akan terlambat waktu kedatangannya ( walaupun setiap hari juga telat dan ga bisa napas nantinya -___- ). Biasanya, estimasi waktu dari rumah saya ke kampus adalah satu setengah jam. Agak lama memang, berhubung rumah saya di utara, dan kampus nan jauh dimato itu ada di Jakarta Selatan. Itu tuh.. kampus gaul deket Pancoran yang katanya sarang artis... :p
Karena saya kurang tidur pada malam harinya, tanpa sadar saya tertidur di bus. Bangun-bangun, ternyata masih di daerah Cawang-Halim, dekat Kalimalang. Dan, tebak sudah jam berapa? Jam SEPULUH, sodara-sodara!!! Saya kalang kabut. Jam berapa ini? Dimana aku? Gimana ujianku? Apakah aku cantik? Begitulah...
Ternyata bus yang saya tumpangi juga memutuskan untuk putar balik karena kemacetan yang parah. Kondektur bus itu sempat teriak kepada supir, “gak bisa jalan!” katanya. Hah? Ga bisa jalan? Segitu macetnyakah sampai harus putar balik?
Karena ada kemungkinan telat, saya memutuskan untuk turun dari bus dan jalan kaki ke pangkalan ojek. Walaupun tempat saya turun dan pangkalan ojek agak jauh, tapi demi ujian, apa sih yang nggak? Saya menelusuri jalan dengan payung yang ternyata hampir rusak, karena salah satu besinya bengkok. Hahh...
Setelah keluar dari bus dan jalan kaki dan harus “nyelip-nyelip” diantara banyaknya kendaraan dan orang yang berlalu lalang, langkah saya terhenti. Di hadapan saya, ada sebuah terowongan dengan air yang menggenang hingga pinggang orang dewasa. Tuhan.. apa coba ini? Mencoba untuk tetap menghadiri ujian hari itu, saya mengirim sms ke teman saya si Naf yang rumahnya berada di Bekasi yang harusnya melewati jalur itu juga. Jawabannya ternyata sama. Kejebak macet dan masih di daerah cawang. Tapi bedanya adalah, si Naf lebih beruntung karena menemukan tukang ojek sehingga sudah berada di perjalanan menuju kampus. Sementara saya tidak.
Kemudian, saya memutuskan untuk menyebrang jalan, yaitu jalan untuk putar balik dengan harapan jalan diseberang tidak terkena banjir karena tidak melewati terowongan dan syukur-syukur ada tukang ojek. Sambil terus berjalan, saya menelop teman-teman saya yang berada di kampus. Tapi semuanya tidak bisa dihubungi, termasuk sahabat saya, si Jange. KEMANA ORANG-ORANG DISAAT BEGINI???? Jalanan banjir, tidak adanya kendaraan, hujan deras, dan kemacetan dimana-mana membuat saya emosi. Tidak hanya jalanan yang acau, tapi sinyal handphone yang jelek juga tambah membuat saya emosi apalagi pulsa saya Cuma tinggal tiga ribu rupiah.
Ternyata diseberang juga sama. Banjir. Ga bisa lewat. Dari arah seberang lampu merah, banyak kendaraan yang terhenti karena banjir. Semuanya terhenti di tempat. Transjakarta mengosongkan busnya dan berhenti di tempat itu juga, menjadi bus kosong tanpa penumpang karena supirnya pun mematikan mesin dan keluar dari sana. Dalam hati, saya bersyukur tidak naik Transjak. Handphone saya sesekali berdering, karena ibu saya yang terus menanyakan lokasi dan kabar saya. Dan tap kali ibu saya panik, saya seperti berada di situasi yang benar-benar genting, daerah konflik misalnya, dan menambah kepanikan saya. Setelah beberapa kali menelepon, akhirnya beliau meminta saya pulang, dan mengikuti ujian susulan saja.
Tadinya saya ga mau. Saya masih bersikeras harus mengikuti ujian, walaupun sudah jam setengah sebelas lewat saat itu. Tetapi, tukang ojek harapan saya satu-satunya untuk ke kampus tidak ada. Jadi saya memutuskan utuk pulang dan menelepon teman saya, si RS untuk mengabarkan saya ikut ujian susulan. Untungnya, sambungan telepon berhasil, dan saya akhirnya ikut susulan. Setelah menutup telepon, muncul masalah baru. Bagaimana saya pulang?
Saya menunggu ada bus jurusan ke rumah saya yang putar balik, tepi sepertinya tidak ada lagi kendaraan yang beroperasi karena lebih dari lima belas menit kemudian keadaan juga maih tetap sama. Lagi-lagi saya akhirnya berjalan kaki. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas lewat lima belas menit ketika akhirnya saya memutuskan untuk ulang dan menunggu. Sekitar pukul setengah dua belas lewat, saya berada di dekat jembatan Jatinegara. Ketika itu, sepatu saya sudah rusak terendam banjir, sehingga saya berjalan kaki tanpa alas kaki. Dan ternyata batu-batu di bawah jalan tol lebih sakit daripada batu untuk refleksi :’(
Dan dikala itu, ada seorang bapak berkata kepada saya, “ojek, neng?” mungkin kedengarannya berlebihan, tapi suara baak itu seperti bergema dan dibelakangnya ada layar putih dengan burung merpati yang beterbangan. Dengan senyuman dan mata yang berbinar, saya langsung mengiyakan. Awalnya, saya mmasih berniat untuk ke kampus, tapi melihat jam yang ternyata mau menuju jam dua belas, saya berpikir bahwa tidak akan ada waktu lagi untuk kesana, karena kemacetan dan banjir dimana-mana pasti akan memakan waktu lebih lama dari biasanya.
Senyuman karena bertemu tukang ojek tidak berlangsung lama. Kenapa? Karena untuk naik oek dari Jatinegara hingga ke daerah elit itu memakan biaya hingga 50 ribu rupiah! Huh! Perampokan! Manfaatin suasana banget sih itu orang! Dengan muka yang sudah putus asa ( tapi tetep cantik ), saya menawar hingga 30ribu rupiah, harga yang menurut saya pantas untuk jarak sekian ( entah pantas atau saya memang pelit karena keadaan banjir dimana-mana, hehe ). Dan, saya tidak tau karena muka terlihat kurang duit atau muka saya terlihat putus asa, atau mungkin terpesona melihat kecantikan saya, tukang ojek tersebut mau mengantarkan saya.
Bagaimanakah kisah selanjutnya? Apakah tukang ojek tersebut berhasil membawa saya pulang? Apakah Baim Wong akan tetap menjomblo?
Penasaran? Kita nantikan postingan selanjutnya tetap di blog yang sama, tetap di Dunia Kaleng Berjalan... yaaaaa'eeeee!!!!!
No comments:
Post a Comment