Wednesday, January 23, 2013

I Don't Need a Man




...
Boy don’t say

“I’ll take care of you, I’ll cherish you” no no
Boy don’t play
If you’re not gonna come with a serious mind

...
I can live well without a man
So if you’re not confident, don’t come to me
I don’t sell myself easily because
I don’t need a man I don’t need a man (What?)
I don’t need a man I don’t need a man (Really?)
I don’t need a man I don’t need a man (For real?)
I don’t need a man I don’t need a man
I can live well without a man
...



Monday, January 21, 2013

Walau Banjir Menghadang... (2)


Di perjalanan, tukang ojek yang mengantar saya memutuskan untuk lewat jalan tol, karena banyak daerah yang tergenang banjir (baru kali ini saya naik motor lewat tol). Ketika di perjalanan, asaya sedikit lega karena termasuk lancar dan si Naf juga mengirim pesan bahwa saya bisa ikut ujian susulan dengan ketentuan berlaku (macam pulsa). Yang penting saya bisa ujian. Yeeaaaayyyyy! Di papan hijau penunjuk arah jalan tol, terdapat tulisan yang menunjukkan pintu keluar menuju ke daerah elit itu. Ternyata eh ternyata, pemandangan yang saya lihat begitu turun toll adalah.. keadaan kacau dimana mobil dan kendaraan lainnya berhenti ditempat! Saya tidak bisa kemana-mana lagi karena jalan memutar yang harus diambil tergenang banjir. Tukang ojek yang mengantar saya juga bilang tidak sanggup melewati banjir, karena tingginya lebih dari knalpot motor dan bisa berakibat mogok di jalan. Saya sebenarnya sedih saat itu (bukan, bukan karena saya suka sama abang ojeknya) karena saya kembali harus jalan kaki.

Saya kembali berjalan kaki menuju “Mallnya Indonesia”. Di depan mall, saya yang sudah kelelahan menelpon rumah dan ternyata bisa dengan pulsa yang sudah amat minim, yaitu 3000 rupiah (biasanya provider bilang pulsa saya tidak mencukupi untuk melakukan panggilan). Saya minta agar saya dijemput disana. Tidak peduli dengan orang yang berlalu lalang, saya duduk begitu saja di trotoar mall, dengan keadaan telapak kaki hingga betis yang basa karena banjir, menenteng sepatu jebol dan payung rusak serta tas yang dibungkus plastik. Saya tinggal membawa korek api lalu bersikap seperti anak perempuan di dongeng “Gadis Penjual Korek Api”, menyalakannya dan berharap makanan enak keluar dari asapnya (kemudian mati terkapar).

Setelah setengah jam berlalu, saya memutuskan untuk menelepon adik saya yang menjemut saya. Lagi-lagi keajaiban muncul karena saya masih bisa menggunakan pulsa yang sudah sekarat itu.
“Halo.. dimana?”
“Mbak Yona, aku masih jauh nih, baru di depan mall (yang berseri 1 sampai 5. Ga tau deh, nomer 2 sampai 4nya yang mana). Kayaknya ga bisa keana deh.. lo jalan aja same masjid deket sini, gue tungguin.”
“WHAAAAATTTTTT???????” lalu megap-megap.

“Sungguh....aku tak sanggup... aku tak bisa... aku tak mampu, dan aku tertatih....” terdengar Sammy Simorangkir bernyanyi dikejauhan sana.

Kenapa setelah setengah jam ade gue baru ngabarin? Kenapa? Kenapa? Kenapaaaa??? (kalo di komik, biasanya tokohnya kayak jatuh dari jurang terus menghilan di kegelapan)

Akhirnya, karena dibenak saya terlintas iklan susu yang katanya jalan 10km sehari itu sehat, saya kembali berjalan kaki lagi. Dan kali ini jaraknya lebih jauh. Hiks T_T. Masih dengan “Nyeker Man!” tiruan merk sepatu terkenal itu (bedanya saya ga pake sepatu kulit, melainkan kulit asli saya), saya berjalan di trotoar dibawah jalan tol yang cuma sedikit terkena banjir. Di tengah perjalanan, ada bapak-bapak yang menanyakan apakah sepanjang jalan benaran banjir kepada bapak yang lainnya. Yah... kalau itu masih bisa disebut dengan “pertanyaan”. Pasalnya, si bapak-bapak itu bertanya tapi dengan nada suara yang tinggi dn tidak sabaran. Ia menggunakan logat daerah khas Sumatera Utara, rambut yang agak gondrong, serta jari-jari yang dipenuhi cincin. Tau siapa? Dialah pengacara ulung, Hotman Paris Hutapea. Kantor pengacara itu berada di daerah elit tersebut. Moga-mogahan kapok mendirikan kantor disana.
“Biasa aja om, nanyanya!!” tadinya saya pingin teriak seperti itu, tapi kondisi saya yang sudah lelah mengurungkan niat saya. Lagipula saya takut ditimpuk cincin.

Setibanya di depan mall yang ada unta warna-warni, jalan terlihat sepi. Tidak jauh dari sana, di dekat jembatan ada dua buah tenda Bulan Sabit Merah bertengger dengan manis, menunggu korban banjir yang datang. Sesaat saya tersenyum, karena merasa tidak lagi di Jakarta, tapi di daerah-daerah konflik di Timur Tengah sana. Namun, walaupun ada tenda Bulan Sabit Merah, saya tidak berminat sama sekali. Saat ini saya sangat terobsesi dengan yang namanya WC! Yap, Water Closet! Alias jamban, kalo sodara-sodara belum mengerti. Mengapa oh mengapa? Karena dari jam delapan pagi saya menahan untuk buang air kecil. Ini adalah salah satu penderitaan tiada akhir yang harus saya alami. Kaki yang harus terendam di jalanan penuh dengan air bah, serta udara dingin mengakibatkan saya makin tidak tahan untuk segera menuju WC. Saya tidak bisa masuk ke dalam mall karena keadaan saya yang lebih mirip tunawisma daripada anak kuliahan bisa menyebabkan saya kena usir satpam (kalau di Tom and Jerry, ada adegan si Tom yang diangkat terus ditendang pantatnya sampe melayang dan mendarat di tong sampah).

Akhirnya, sesosok bangunan terlihat sangat bersinar dimata saya. Saat keadaan seperti itu, emas yang disimpan di peti harta karun kilaunya jauh sekali dibaandingkan WC pom bensin. Uuyeeee....!! Dengan jalan yang diseret dan miring-ming tanda sudah tidak tahan menahan pipis, saya berusaha sekuat tenaga untuk menggapai pom bensin tersebut. Perasaan lega dan cara jalan yang kembali normal kembali dirasakan setelah segala urusan kamar mandi telah selesai (well.. this is quite embarassing.. *blushing).

Tidak jauh dari pom bensin, saya berhenti di sebuah klinik kecantikan ketika sebuah telepon masuk diterima. Suara dari ujung sana langsung terdengar.
Nduk, udah pipisnya?” ternyata yang menelpon adalah Ibu saya. *Nduk adalah istilah Jawa untuk panggilan kepada anak perempuan.

Dengan sedikit malu saya menjawab sudah. Tadi, ketika saya sedang berjuang sampai ke pom bensin, Ibu saya telepon, dan saya tidak sengaja membentaknya kerana stress yang sudah akut. Ternyata ibu saya menelpon karena katanya ingin menjemput saya dan saya disuruh untuk menunggu di tempat saya sekarang. Dan, lagi-lagi setelah beberapa menit berlalu, Ayah saya menelpon bahwa beliau baru menyuruh tukang ojek dekat rumah saya ntuk menjemput. Ya Tuhan...

Lima menit...saya berpikir baha mungkin tukang ojek itu masih berada di dekat rmah, karena macet dimana-mana. Sepuluh menit...mungkin di pertengahan jalan... lma belas manit... tiga puluh menit... belum ada kabar. Hingga saya mengantuk dan tertidur dalam posisi duduk. Saya sendiri heran dengan mekanisme tubuh saya yang sempat-sempatnya mengantuk disaat-saat seperti ini. Disaat stress dan lapar luar biasa saya masih bisa tidur. Di pinggir jalan pula! Hingga satu jam kemudian Ayah saya menelepon dimana keberadaan saya, saya mengatakan tukang ojeknya belum dayang dan saya memutuskan untuk BERJALAN KAKI LAGI.

Kalau tadi di jalan raya utama saya masih bisa berjalan di trotoar yang sedikit terkena banjir, kali ini sayang ekali saya harus langsung menceburkan diri ke tengah banjir. Waktu itu, keadaannya dipersulit karena saya membawa Romeo, alias laptop saya. Jadi, tangan kiri memegang sepatu jebol dan payung rusak, dan tangan kanan mengangkat tas selempang saya yang lumayan berat karena ada laptop di dalamnya.

Tadinya banjir hanya sebatas pergelangan kaki. Kemudian sampai betis. Makin jauh, makin dalam, yaitu sebatas lutut. Saya terus berjalan hingga akhirnya air menggenang hingga paha saya. Semakin saya berjalan, tidak hanya tangan yang merasa peal, tapi kaki saya juga. Pangkal paha saya terasa sakit, karena harus menempuh perjalanan dengan berjalan dibawah air. Saya masih sanggup bila dalam keadaan biasa, tapi berjalan dengan tekanan air? Rasanya pengen pingsan saat itu juga. Disetiap jalan yang dekat dengan daratan yang lebih tinggi yang tidak terkena banjir, saya mempercepat langkah, walaupun dengan kaki yang sakit dan nafas yang tersengal-sengal.

Ditengah-tengah jalanan banjir itu, Cuma rumah yang menjadi motivasi saya, supaya tidak menyerah, kehilangan kesadaran terus mengambang di atas banjir. Bayangan akan lezatnya masakan yang dimasak Ibusaya, serta kasur empuk yang akan menyambut saya setibanya di rumah membuat saya berusaha mengumpulkan sisa-sisa tenaga. Ibarat laptop, saya ini adalah laptop yang dipaksa dinyalakan padahal baterainya sudah 7% dan sudah dihibernate sebelumnya.

Akhirnyaa saya sampai di masjid sebelah mall beruntun itu. Banyak kendaraan disana. Baik kendaraan yang tidak bisa melanjutkan perjalanan karena banjir, maupun kendaraan orang-orang ang menjemput kerabatnya. Karena adik saya sudah pulang karena tadi orang tua saya memutuskan untuk menjemput saya yang ternyata adalah tukang ojek yang ga dateng-dateng, lagi-laagi saya harus menerima kenyataan bahwa saya harus berjuang lagi. Pesan singkat yang saya dapat dari Ibu saya, sebaiknya saya naik perahu karet dari situ untuk menyebrangi banjir, lalu naik ojek sampai rumah.

“Perahu karet ku kan me..laju....” sayup-sayup terdengar suara minta tolong dari Maudy Ayunda.

Tapi dimana ada perahu karet? Yang ada adalah gerobak sampah yang dialih fungsikan untuk mengangkut orang-orang yang ingin menyebrang. Jadi lagunya diganti, “Gerobak sampah ku kan me...laju...” (maaf ya, Maudy..).

Dari pada saya naik gerobak sampah hanya untuk menyebrangi banjir, saya lebih memilih untuk naik ojek yang ternyata ada! Alhamdulillah... yah.. walaupun saya berasa ditodong sama harganya yang tia kali lipat harga biasa. Bayangin, gak sampai 1 km aja harganya LIMA BELAS RIBU! Amit-amit ya? Bener-bener cari rezeki disaat orang lain lagi kesusahan.

Dan akhirnya, saya sampai di depan rumah. Melihat bangunan ini, meningkatkan nilai “rumah” menjadi berkali-kali lipat di mata saya. Turun dari ojek dengan sedikit ling-lung, saya memasuki halaman rumah sambil tersenyum. Setelah main-main sama kucing sebenter (masih sempet aje -__-), saya masuk kerumah dengan sedikit cengengesan dicampur perasaan haru.
“Akhirnya aku sampe...hehehe...”

Ibu saya menyambut dengan hangat, dan kelihatan sangat senang anaknya bisa pulang dengan selamat. Setelah mandi dan makan tahu gejrot (yang kebetulan lagi nangkring di depan rumah), saya akhirnya bisa beristirahat, tidur dengan nyenyak. Berusaha melupakan betapa lelahnya perjalanan tadi yang bahkan saya tidak berhasil menyentuh lantai kampus. Waktu keberangkatan jam tujuh pagi, hingga kepulangan saya jam tiga sore dibayar dengan hibernasi seharian penuh, yang ketika terbagun keesokan harinya ternyata udah jam dua siang. Tidur apa mati suri? Hehehehee...

Sekian cerita saya kali ini. Kejadian tersebut masih saya syukuri. Kenapa? Karena ada banyak orang yang menginap di jalan karena banjir. Karena walau banjir menghadang, kayak yang Doni Ada Band bilang, saya akan terus maju untuk pulang (selain ga tau mau nginep dimana). Saya tidak takut banjir, karena nenek moyangku seorang pelaut.

Itu ceritaku... apa ceritamu??
*seruput mie instan




Walau Banjir Menghadang... (1)


“Jakarta, kebanjiran. Di Bogor, angin ribut..”
  
  Penggalan dari lagu karangan Benyamin S. Ini rasanya cocok buat cerita saya kali ini.  Hari Kamis, 17 Januari 2013 terlihat air setinggi lutut orang dewasa hinga bisa menenggelamkan rumah beserta isinya. Jakarta tenggelam. Well, ngga semuanya sih...tapi sebagian besar memang terendam banjir. Termasuk daerah elit dekat tempat tinggal saya. Catet ya, daerah elit kebanjiran.

  Daerah ini terletak di Jakarta Utara, mempunyai tia mall besar, dan bejibun restoran dan tempat makan lainnya. Tau dong, dimana.. saya ga bermaksud untuk ngejelekin, lho... Cuma pengen kritik sebagai warga komplek veteran yang ternyata lebih nyaman dibandingkan kemewahan daerah tersebut. Saya merasa daerah elit tersebut HARUS diperbaiki karena saya dan ribuan warga lain pasti susah untuk mengambil akses ke luar.
   
   Masuk ke cerita. Jadi, hari kamis itu saya ada Ujian Akhir Semester. Ujian itu dimulai pada pukul 11:00 WIB, tetapi karena saya ingin belajar terlebih dahulu (ini namanya “Sistem Kebut Sesaat sebelum ujian”), saya memutuskan untuk berangkat lebih pagi, yaitu jam 07:00 WIB. Hari itu hujan lebat. Dari kaca mobil, (saya berangkat dengan Ibu saya) sudah terlihat sebentar lagi sunai kecil buatan yang ada di sepanjang jalan daerah elit tersebut sudah hampir penuh, pertanda akan terjadi banjir. Dan, benar saja, sodara-sodara. Ternyata, mendekati jalan raya utama, yaitu jalan Yos Sudarso, air memang sudah meluap dan menyebabkan genangan air serta kemacetan, tapi saya masih bisa mencapai jalan raya utama dalam waktu setengah jam, yang berarti masih tepat waktu (biasanya Cuma menghabiskan waktu 15 menit untuk sampai sana).

   Setelah sampai di halte, saya menunggu bis PPD jurusan Cililitan untuk berhenti di halte dekat salah satu kampus kemudian melanjutkan perjalanan dengan menaiki bis lagi untutk mencapai kampus saya. Hari itu, saya mengurungkan diri untuk naik Transjakarta karena pasti penuh dah akan terlambat waktu kedatangannya ( walaupun setiap hari juga telat dan ga bisa napas nantinya -___- ). Biasanya, estimasi waktu dari rumah saya ke kampus adalah satu setengah jam. Agak lama memang, berhubung rumah saya di utara, dan kampus nan jauh dimato itu ada di Jakarta Selatan. Itu tuh.. kampus gaul deket Pancoran yang katanya sarang artis... :p
   
   Karena saya kurang tidur pada malam harinya, tanpa sadar saya tertidur di bus. Bangun-bangun, ternyata masih di daerah Cawang-Halim, dekat Kalimalang. Dan, tebak sudah jam berapa? Jam SEPULUH, sodara-sodara!!! Saya kalang kabut. Jam berapa ini? Dimana aku? Gimana ujianku? Apakah aku cantik? Begitulah...
  
  Ternyata bus yang saya tumpangi juga memutuskan untuk putar balik karena kemacetan yang parah. Kondektur bus itu sempat teriak kepada supir, “gak bisa jalan!” katanya. Hah? Ga bisa jalan? Segitu macetnyakah sampai harus putar balik?
   
   Karena ada kemungkinan telat, saya memutuskan untuk turun dari bus dan jalan kaki ke pangkalan ojek. Walaupun tempat saya turun dan pangkalan ojek agak jauh, tapi demi ujian, apa sih yang nggak? Saya menelusuri jalan dengan payung yang ternyata hampir rusak, karena salah satu besinya bengkok. Hahh...
   
   Setelah keluar dari bus dan jalan kaki dan harus “nyelip-nyelip” diantara banyaknya kendaraan dan orang yang berlalu lalang, langkah saya terhenti. Di hadapan saya, ada sebuah terowongan dengan air yang menggenang hingga pinggang orang dewasa. Tuhan.. apa coba ini? Mencoba untuk tetap menghadiri ujian hari itu, saya mengirim sms ke teman saya si Naf yang rumahnya berada di Bekasi yang harusnya melewati jalur itu juga. Jawabannya ternyata sama. Kejebak macet dan masih di daerah cawang. Tapi bedanya adalah, si Naf lebih beruntung karena menemukan tukang ojek sehingga sudah berada di perjalanan menuju kampus. Sementara saya tidak.
   
   Kemudian, saya memutuskan untuk menyebrang jalan, yaitu jalan untuk putar balik dengan harapan jalan diseberang tidak terkena banjir karena tidak melewati terowongan dan syukur-syukur ada tukang ojek. Sambil terus berjalan, saya menelop teman-teman saya yang berada di kampus. Tapi semuanya tidak bisa dihubungi, termasuk sahabat saya, si Jange. KEMANA ORANG-ORANG DISAAT BEGINI???? Jalanan banjir, tidak adanya kendaraan, hujan deras, dan kemacetan dimana-mana membuat saya emosi. Tidak hanya jalanan yang acau, tapi sinyal handphone yang jelek juga tambah membuat saya emosi apalagi pulsa saya Cuma tinggal tiga ribu rupiah.
   
   Ternyata diseberang juga sama. Banjir. Ga bisa lewat. Dari arah seberang lampu merah, banyak kendaraan yang terhenti karena banjir. Semuanya terhenti di tempat. Transjakarta mengosongkan busnya dan berhenti di tempat itu juga, menjadi bus kosong tanpa penumpang karena supirnya pun mematikan mesin dan keluar dari sana. Dalam hati, saya bersyukur tidak naik Transjak. Handphone saya sesekali berdering, karena ibu saya yang terus menanyakan lokasi dan kabar saya. Dan tap kali ibu saya panik, saya seperti berada di situasi yang benar-benar genting, daerah konflik misalnya, dan menambah kepanikan saya. Setelah beberapa kali menelepon, akhirnya beliau meminta saya pulang, dan mengikuti ujian susulan saja.
   
   Tadinya saya ga mau. Saya masih bersikeras harus mengikuti ujian, walaupun sudah jam setengah sebelas lewat saat itu. Tetapi, tukang ojek harapan saya satu-satunya untuk ke kampus tidak ada. Jadi saya memutuskan utuk pulang dan menelepon teman saya, si RS untuk mengabarkan saya ikut ujian susulan. Untungnya, sambungan telepon berhasil, dan saya akhirnya ikut susulan. Setelah menutup telepon, muncul masalah baru. Bagaimana saya pulang?
   
   Saya menunggu ada bus jurusan ke rumah saya yang putar balik, tepi sepertinya tidak ada lagi kendaraan yang beroperasi karena lebih dari lima belas menit kemudian keadaan juga maih tetap sama. Lagi-lagi saya akhirnya berjalan kaki. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas lewat lima belas menit ketika akhirnya saya memutuskan untuk ulang dan menunggu. Sekitar pukul setengah dua belas lewat, saya berada di dekat jembatan Jatinegara. Ketika itu, sepatu saya sudah rusak terendam banjir, sehingga saya berjalan kaki tanpa alas kaki. Dan ternyata batu-batu di bawah jalan tol lebih sakit daripada batu untuk refleksi :’(
  
   Dan dikala itu, ada seorang bapak berkata kepada saya, “ojek, neng?” mungkin kedengarannya berlebihan, tapi suara baak itu seperti bergema dan dibelakangnya ada layar putih dengan burung merpati yang beterbangan. Dengan senyuman dan mata yang berbinar, saya langsung mengiyakan. Awalnya, saya mmasih berniat untuk ke kampus, tapi melihat jam yang ternyata mau menuju jam dua belas, saya berpikir bahwa tidak akan ada waktu lagi untuk kesana, karena kemacetan dan banjir dimana-mana pasti akan memakan waktu lebih lama dari biasanya.
   
   Senyuman karena bertemu tukang ojek tidak berlangsung lama. Kenapa? Karena untuk naik oek dari Jatinegara hingga ke daerah elit itu memakan biaya hingga 50 ribu rupiah! Huh! Perampokan! Manfaatin suasana banget sih itu orang! Dengan muka yang sudah putus asa ( tapi tetep cantik ), saya menawar hingga 30ribu rupiah, harga yang menurut saya pantas untuk jarak sekian ( entah pantas atau saya memang pelit karena keadaan banjir dimana-mana, hehe ). Dan, saya tidak tau karena muka terlihat kurang duit atau muka saya terlihat putus asa, atau mungkin terpesona melihat kecantikan saya, tukang ojek tersebut mau mengantarkan saya.


   Bagaimanakah kisah selanjutnya? Apakah tukang ojek tersebut berhasil membawa saya pulang? Apakah Baim Wong akan tetap menjomblo? 

   Penasaran? Kita nantikan postingan selanjutnya tetap di blog yang sama, tetap di Dunia Kaleng Berjalan... yaaaaa'eeeee!!!!!




Tuesday, January 8, 2013

Something in Mind



Abstrak.
Kaya skripsi saya. -___-

Silahkan dideskripsikan sendiri... : )




Borealis


   Ide emang datang disaat ga tepat. Lagi pusing mikirin skripsi, tau-tau kepengen gambar, hehehe...
Akhirmya, setelah gak kuat nahan passion buat gambar, saya yang biasanya males luar biasa keluar rumah niat banget beli alat-alat gambar. yeeaaaayyyyy!!! aku bukan pemalas, mama!
      
     Dan ini lah hasilnya! :3



  "Borealis"

  Namanya diambil dari Aurora BorealisDi bumi, aurora terjadi di daerah di sekitar kutub Utara dan kutub Selatan magnetiknya. Aurora yang terjadi di daerah sebelah Utara dikenal dengan nama Aurora Borealis (IPA /ɔˈɹɔɹə bɔɹiˈælɪs/), yang dinamai bersempena Dewi Fajar Rom, Aurora, dan nama Yunani untuk angin utara, Boreas. Ini karena di Eropa, aurora sering terlihat kemerah-merahan di ufuk utara seolah-olah Matahari akan terbit dari arah tersebut.http://aksesdunia.com/2012/dampak-badai-matahari-tarian-aurora-borealis-yang-indah/ ) *Mahasiswa yang baik harus menyertakan sumber.

  Proses gambarnya rada-rada nyakitin juga ternyata. Dari teknik gambar yang saya ambil dari Youtube (http://www.youtube.com/watch?v=2taFIPE_1y0) , ternyata crayonnya harus digesek-gesek pake jempol. Keluar jin ngga, malah jempol saya yang melepuh -___-.

  Waktu diliat hasilnya, "kok rada beda, ya?" Hmm... Actually, beda banget sama contoh. -___-. Maklum, ini hasil pertama saya membuat gambar pemandangan. Ga apa-apa, namanya juga usaha. Lain kali harus lebih bagus! ;3