Di perjalanan,
tukang ojek yang mengantar saya memutuskan untuk lewat jalan tol, karena banyak
daerah yang tergenang banjir (baru kali ini saya naik motor lewat tol). Ketika
di perjalanan, asaya sedikit lega karena termasuk lancar dan si Naf juga
mengirim pesan bahwa saya bisa ikut ujian susulan dengan ketentuan berlaku
(macam pulsa). Yang penting saya bisa ujian. Yeeaaaayyyyy! Di papan hijau
penunjuk arah jalan tol, terdapat tulisan yang menunjukkan pintu keluar menuju
ke daerah elit itu. Ternyata eh ternyata, pemandangan yang saya lihat begitu
turun toll adalah.. keadaan kacau dimana mobil dan kendaraan lainnya berhenti
ditempat! Saya tidak bisa kemana-mana lagi karena jalan memutar yang harus
diambil tergenang banjir. Tukang ojek yang mengantar saya juga bilang tidak
sanggup melewati banjir, karena tingginya lebih dari knalpot motor dan bisa
berakibat mogok di jalan. Saya sebenarnya sedih saat itu (bukan, bukan karena
saya suka sama abang ojeknya) karena saya kembali harus jalan kaki.
Saya kembali
berjalan kaki menuju “Mallnya Indonesia”. Di depan mall, saya yang sudah
kelelahan menelpon rumah dan ternyata bisa dengan pulsa yang sudah amat minim,
yaitu 3000 rupiah (biasanya provider bilang pulsa saya tidak mencukupi untuk
melakukan panggilan). Saya minta agar saya dijemput disana. Tidak peduli dengan
orang yang berlalu lalang, saya duduk begitu saja di trotoar mall, dengan
keadaan telapak kaki hingga betis yang basa karena banjir, menenteng sepatu
jebol dan payung rusak serta tas yang dibungkus plastik. Saya tinggal membawa
korek api lalu bersikap seperti anak perempuan di dongeng “Gadis Penjual Korek
Api”, menyalakannya dan berharap makanan enak keluar dari asapnya (kemudian
mati terkapar).
Setelah setengah
jam berlalu, saya memutuskan untuk menelepon adik saya yang menjemut saya. Lagi-lagi
keajaiban muncul karena saya masih bisa menggunakan pulsa yang sudah sekarat
itu.
“Halo..
dimana?”
“Mbak Yona,
aku masih jauh nih, baru di depan mall (yang berseri 1 sampai 5. Ga tau deh,
nomer 2 sampai 4nya yang mana). Kayaknya ga bisa keana deh.. lo jalan aja same
masjid deket sini, gue tungguin.”
“WHAAAAATTTTTT???????”
lalu megap-megap.
“Sungguh....aku
tak sanggup... aku tak bisa... aku tak mampu, dan aku tertatih....” terdengar
Sammy Simorangkir bernyanyi dikejauhan sana.
Kenapa setelah
setengah jam ade gue baru ngabarin? Kenapa? Kenapa? Kenapaaaa??? (kalo di
komik, biasanya tokohnya kayak jatuh dari jurang terus menghilan di kegelapan)
Akhirnya,
karena dibenak saya terlintas iklan susu yang katanya jalan 10km sehari itu
sehat, saya kembali berjalan kaki lagi. Dan kali ini jaraknya lebih jauh. Hiks
T_T. Masih dengan “Nyeker Man!” tiruan merk sepatu terkenal itu (bedanya saya
ga pake sepatu kulit, melainkan kulit asli saya), saya berjalan di trotoar
dibawah jalan tol yang cuma sedikit terkena banjir. Di tengah perjalanan, ada
bapak-bapak yang menanyakan apakah sepanjang jalan benaran banjir kepada bapak
yang lainnya. Yah... kalau itu masih bisa disebut dengan “pertanyaan”. Pasalnya,
si bapak-bapak itu bertanya tapi dengan nada suara yang tinggi dn tidak
sabaran. Ia menggunakan logat daerah khas Sumatera Utara, rambut yang agak
gondrong, serta jari-jari yang dipenuhi cincin. Tau siapa? Dialah pengacara
ulung, Hotman Paris Hutapea. Kantor pengacara itu berada di daerah elit
tersebut. Moga-mogahan kapok mendirikan kantor disana.
“Biasa aja om,
nanyanya!!” tadinya saya pingin teriak seperti itu, tapi kondisi saya yang
sudah lelah mengurungkan niat saya. Lagipula saya takut ditimpuk cincin.
Setibanya di
depan mall yang ada unta warna-warni, jalan terlihat sepi. Tidak jauh dari
sana, di dekat jembatan ada dua buah tenda Bulan Sabit Merah bertengger dengan
manis, menunggu korban banjir yang datang. Sesaat saya tersenyum, karena merasa
tidak lagi di Jakarta, tapi di daerah-daerah konflik di Timur Tengah sana. Namun,
walaupun ada tenda Bulan Sabit Merah, saya tidak berminat sama sekali. Saat ini
saya sangat terobsesi dengan yang namanya WC! Yap, Water Closet! Alias jamban,
kalo sodara-sodara belum mengerti. Mengapa oh mengapa? Karena dari jam delapan
pagi saya menahan untuk buang air kecil. Ini adalah salah satu penderitaan
tiada akhir yang harus saya alami. Kaki yang harus terendam di jalanan penuh
dengan air bah, serta udara dingin mengakibatkan saya makin tidak tahan untuk
segera menuju WC. Saya tidak bisa masuk ke dalam mall karena keadaan saya yang
lebih mirip tunawisma daripada anak kuliahan bisa menyebabkan saya kena usir
satpam (kalau di Tom and Jerry, ada adegan si Tom yang diangkat terus ditendang
pantatnya sampe melayang dan mendarat di tong sampah).
Akhirnya,
sesosok bangunan terlihat sangat bersinar dimata saya. Saat keadaan seperti itu,
emas yang disimpan di peti harta karun kilaunya jauh sekali dibaandingkan WC
pom bensin. Uuyeeee....!! Dengan jalan yang diseret dan miring-ming tanda sudah
tidak tahan menahan pipis, saya berusaha sekuat tenaga untuk menggapai pom bensin
tersebut. Perasaan lega dan cara jalan yang kembali normal kembali dirasakan
setelah segala urusan kamar mandi telah selesai (well.. this is quite
embarassing.. *blushing).
Tidak jauh dari
pom bensin, saya berhenti di sebuah klinik kecantikan ketika sebuah telepon
masuk diterima. Suara dari ujung sana langsung terdengar.
“Nduk, udah pipisnya?” ternyata yang
menelpon adalah Ibu saya. *Nduk
adalah istilah Jawa untuk panggilan kepada anak perempuan.
Dengan sedikit
malu saya menjawab sudah. Tadi, ketika saya sedang berjuang sampai ke pom
bensin, Ibu saya telepon, dan saya tidak sengaja membentaknya kerana stress
yang sudah akut. Ternyata ibu saya menelpon karena katanya ingin menjemput saya
dan saya disuruh untuk menunggu di tempat saya sekarang. Dan, lagi-lagi setelah
beberapa menit berlalu, Ayah saya menelpon bahwa beliau baru menyuruh tukang
ojek dekat rumah saya ntuk menjemput. Ya Tuhan...
Lima menit...saya
berpikir baha mungkin tukang ojek itu masih berada di dekat rmah, karena macet
dimana-mana. Sepuluh menit...mungkin di pertengahan jalan... lma belas manit...
tiga puluh menit... belum ada kabar. Hingga saya mengantuk dan tertidur dalam
posisi duduk. Saya sendiri heran dengan mekanisme tubuh saya yang
sempat-sempatnya mengantuk disaat-saat seperti ini. Disaat stress dan lapar
luar biasa saya masih bisa tidur. Di pinggir jalan pula! Hingga satu jam
kemudian Ayah saya menelepon dimana keberadaan saya, saya mengatakan tukang
ojeknya belum dayang dan saya memutuskan untuk BERJALAN KAKI LAGI.
Kalau tadi di
jalan raya utama saya masih bisa berjalan di trotoar yang sedikit terkena
banjir, kali ini sayang ekali saya harus langsung menceburkan diri ke tengah
banjir. Waktu itu, keadaannya dipersulit karena saya membawa Romeo, alias
laptop saya. Jadi, tangan kiri memegang sepatu jebol dan payung rusak, dan
tangan kanan mengangkat tas selempang saya yang lumayan berat karena ada laptop
di dalamnya.
Tadinya banjir
hanya sebatas pergelangan kaki. Kemudian sampai betis. Makin jauh, makin dalam,
yaitu sebatas lutut. Saya terus berjalan hingga akhirnya air menggenang hingga
paha saya. Semakin saya berjalan, tidak hanya tangan yang merasa peal, tapi
kaki saya juga. Pangkal paha saya terasa sakit, karena harus menempuh
perjalanan dengan berjalan dibawah air. Saya masih sanggup bila dalam keadaan
biasa, tapi berjalan dengan tekanan air? Rasanya pengen pingsan saat itu juga. Disetiap
jalan yang dekat dengan daratan yang lebih tinggi yang tidak terkena banjir,
saya mempercepat langkah, walaupun dengan kaki yang sakit dan nafas yang
tersengal-sengal.
Ditengah-tengah
jalanan banjir itu, Cuma rumah yang menjadi motivasi saya, supaya tidak
menyerah, kehilangan kesadaran terus mengambang di atas banjir. Bayangan akan
lezatnya masakan yang dimasak Ibusaya, serta kasur empuk yang akan menyambut
saya setibanya di rumah membuat saya berusaha mengumpulkan sisa-sisa tenaga. Ibarat
laptop, saya ini adalah laptop yang dipaksa dinyalakan padahal baterainya sudah
7% dan sudah dihibernate sebelumnya.
Akhirnyaa saya
sampai di masjid sebelah mall beruntun itu. Banyak kendaraan disana. Baik kendaraan
yang tidak bisa melanjutkan perjalanan karena banjir, maupun kendaraan
orang-orang ang menjemput kerabatnya. Karena adik saya sudah pulang karena tadi
orang tua saya memutuskan untuk menjemput saya yang ternyata adalah tukang ojek
yang ga dateng-dateng, lagi-laagi saya harus menerima kenyataan bahwa saya
harus berjuang lagi. Pesan singkat yang saya dapat dari Ibu saya, sebaiknya
saya naik perahu karet dari situ untuk menyebrangi banjir, lalu naik ojek
sampai rumah.
“Perahu karet
ku kan me..laju....” sayup-sayup terdengar suara minta tolong dari Maudy
Ayunda.
Tapi dimana
ada perahu karet? Yang ada adalah gerobak sampah yang dialih fungsikan untuk
mengangkut orang-orang yang ingin menyebrang. Jadi lagunya diganti, “Gerobak
sampah ku kan me...laju...” (maaf ya, Maudy..).
Dari pada saya
naik gerobak sampah hanya untuk menyebrangi banjir, saya lebih memilih untuk
naik ojek yang ternyata ada! Alhamdulillah... yah.. walaupun saya berasa
ditodong sama harganya yang tia kali lipat harga biasa. Bayangin, gak sampai 1
km aja harganya LIMA BELAS RIBU! Amit-amit ya? Bener-bener cari rezeki disaat
orang lain lagi kesusahan.
Dan akhirnya,
saya sampai di depan rumah. Melihat bangunan ini, meningkatkan nilai “rumah”
menjadi berkali-kali lipat di mata saya. Turun dari ojek dengan sedikit
ling-lung, saya memasuki halaman rumah sambil tersenyum. Setelah main-main sama
kucing sebenter (masih sempet aje -__-), saya masuk kerumah dengan sedikit
cengengesan dicampur perasaan haru.
“Akhirnya aku
sampe...hehehe...”
Ibu saya
menyambut dengan hangat, dan kelihatan sangat senang anaknya bisa pulang dengan
selamat. Setelah mandi dan makan tahu gejrot (yang kebetulan lagi nangkring di
depan rumah), saya akhirnya bisa beristirahat, tidur dengan nyenyak. Berusaha melupakan
betapa lelahnya perjalanan tadi yang bahkan saya tidak berhasil menyentuh
lantai kampus. Waktu keberangkatan jam tujuh pagi, hingga kepulangan saya jam
tiga sore dibayar dengan hibernasi seharian penuh, yang ketika terbagun keesokan
harinya ternyata udah jam dua siang. Tidur apa mati suri? Hehehehee...
Sekian cerita
saya kali ini. Kejadian tersebut masih saya syukuri. Kenapa? Karena ada banyak
orang yang menginap di jalan karena banjir. Karena walau banjir menghadang,
kayak yang Doni Ada Band bilang, saya akan terus maju untuk pulang (selain ga
tau mau nginep dimana). Saya tidak takut banjir, karena nenek moyangku seorang
pelaut.
Itu ceritaku...
apa ceritamu??
*seruput mie
instan