Ada tujuh hari dalam seminggu. Senin, selasa, rabu, kamis, jumat, sabtu dan minggu. Diantara hari-hari itu, terasa biasa atau beberapa orang menganggap salah satunya terasa istimewa. Tahu yang namanya "Monday Sickness"? Mungkin bagi kebanyakan orang, hari senin begitu menyebalkan. Memulai aktivitas yang padat, menghadapi ramainya jalan, memikirkan banyak hal baru yang terulang setiap harinya. Tapi, bagi sebagian orang senin itu istimewa. Sebuah perjumpaan, melakukan rutinitas menyenangkan, atau menjumpai momen istimewa yang hanya orang itu dan orang-orang lain yang merasakannya akan terus mengharapkan bahwa setiap hari adalah hari senin. Sampai ketika momen bahagia itu habis. Setiap perpisahan, rutinitas yang membosankan karena berakhirnya sesuatu yang biasa dilakukan pada hari tersebut, atau hancurnya momen istimewa yang digantikan dengan kejadian menyedihkan atau mungkin traumatis.
Aku juga pernah mengalami perasaan itu. ada satu hari dalam seminggu yang aku harap semua hari adalah hari itu. Suatu hari dimana semua rutinitas membosankan terasa begitu istimewa. Suatu hari dimana datang harapan-harapan diantara semua senyuman dan tawa yang indah dihari itu. Setiap hari itu menyimpan kenangan. Setiap hari itu menyimpan harapan. Setiap hari itu aku seperti bermimpi dalam kenyataan. Suatu hari yang aku harap terulang setiap minggunya. Suatu hari yang aku harap bisa diulang kembali, dengan beribu kenangan yang sama. Karena kenangan-kenangan itu, tak bisa mempertahankan amarahku. Karena kenangan-kenangan itu, tak bisa membuatku sedih lebih lama.
Seiring dengan berakhirnya waktu, hari itu berakhir. Satu hari itu harus kuhadapi setiap minggu. Satu hari itu harus kulewati setiap minggu. Awalnya terasa kosong ketika dimulai dengan membuka mata. Dari bangun tidur, hingga tidur kembali, aku terlempar dalam kenyataan. Tidak pahit, tapi hambar. Hari itu berakhir untukku bukan karena seuatu, tapi memang waktunya aku mengucap selamat tinggal. Kepada ruang, kepada waktu, yang telah memberkanku kesempatan untuk menerima hari itu dengan senang hati. Memang sudah saatnya.
Bagaimana mengganti kekosongan itu? Berjuta kegiatan, berjuta pemikiran, berjuta cara menghindari otakku mengingat kembali. Melarang dia mengulang mimpi dalam suatu kenyataan. Bekerja keras untuk bangun dari harapan kembalinya hari itu. Untuk beberapa waktu aku bingung. Untuk beberapa waktu aku tidak tahu apa yang bisa menggantikan - paling tidak mengisi- satu hari itu. Ketika aku tau caranya, akupun masih memikirkannya. Bermimpi kembali. Ketika aku sibuk melakukan hal ini-itu, hari itu terasa sama. Terasa biasa. Apakah aku berhasil?
Berhasil atau tidak aku belum tahu. Aku anggap ini sebuah proses. Aku merasa baik hingga kurun waktu hingga sekarang. Hari itu terasa biasa. Hari itu terasa sama. Hari itu aku bermimpi lalu terbangun lagi. Hari itu aku sudah tak merasa apa-apa. Sekarang satu dari banyak substitusi waktu akan berakhir. Aku belum tahu apa lagi yang harus kulakukan. Karena bagiku sekarang sebuah substitusi wakktu sangat berarti. Demi mengganti waktu, demi sebuah senyuman. Memang jenuh, tapi lebih baik begini daripada tidak melakukan apapun.
Harapanku kini berbeda. Visiku tak lagi sama. Ada sesuatu yang berubah. Hari itu telah biasa. Seperti orang kebanyakan, aku hidup dengan biasa. Hari apa itu? Hanya sebuah hari dalam seminggu.